Kamis, 20 Mei 2010

Pertama Dan Terakhir

Sudah jam duabelas malam, namun mataku tak juga terpejam…huh! Padahal besok ada kuliah pagi, lama-kelamaan aku jadi gelisah, aku menyesal karena tadi siang aku tidur siang terlalu lama, mungkin itu yang membuatku tak bisa tidur malam ini. Pikiranku hanya melayang-layang dan menerawang, memikirkan banyak hal…kuliahku, keluargaku dan bagaimana masa depanku nanti, dan yang tak luput dari pikiranku adalah perasaanku pada seseorang, seseorang yang entah ada dimana sekarang. Seseorang yang tak sebuahpun kabar kudengar darinya, setelah pertemuan waktu itu.
Tiba-tiba saja ponselku berbunyi, sekejap membuyarkan semua lamunanku, dan tanpa pikir panjang segera kuangkat.
“Belum tidur nih? “ terdengar suara lelaki disana, dan langsung putus.
Ponselku berdering lagi, masih dengan identitas yang sama, ia memakai nomor pribadi, sehingga tak ada nomor yang muncul disana.
“Ini siapa?” tanyaku
“Ini gue, masa elo ga kenal sich?!“
Hal itu terus berulang-ulang, ia hanya berbicara dua detik-dua detik, tapi ia tak juga mau menyebutkan namanya. Karena sudah terlalu malam, aku tak sanggup lagi membuka mataku,
“Dah yaa, gue dah ngantuk banget nich!“ kata terakhirku padanya malam itu. Dan aku tertidur dengan sejuta rasa penasaran…
“ Siapa sich dia???”
Aku berjumpa dengannya lagi, kami duduk berdua di taman dekat kampusku dan ia tampak baik-baik saja, hanya sedikit terlihat lebih kurus. Aku senang sekali waktu itu, tapi… mengapa ia sama sekali tak berbicara padaku, namun demikian pandanganku tak lepas dari wajahnya, senyum senantiasa tersungging dari bibirku, aku tak mau semua ini berakhir… namun, sesaat kemudian…
“Fi..!! Alfi, bangun Fi! Sudah jam enam, kamu ada kuliah kan pagi ini?“ suara itu, suara yang sangat aku kenal memanggilku, itu suara mama.
Semuanya terbang, hilang, taman itu, bangku itu, dan juga Vino, dan akupun terbagun. Aku hanya tertegun, mataku menerawang tak brkedip, ternyata semuanya hanya mimpi. Tanpa sadar air mataku menetes, aku berpikir kenapa aku sangat merindukannya?.
“Kamu kenapa Fi?, mimpi buruk ya? Sudahlah Fi itu hanya mimpi, nggak usah dipikirin. Cepat mandi sana, nanti kamu terlambat“. Bujuk mama, sambil membelai rambutku yang sedikit kusut.
“Iya ma, makasih ya dah dibangunin, Alfi mandi dulu yaa ma!”.
Kuberanjak dari tempat tidurku, meski dengan sedikit gontai menuju kamar mandi.
Vino, aku mengenalnya dua bulan yang lalu, ia seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi yang kebetulan letaknya tak jauh dari kampusku. Aku mengenalnya tak sengaja, ada telepon nyasar ke ponselku. Kami berkenalan walau hanya lewat sms, aku banyak bertanya tentang dirinya, sebagai teman aku tentu ingin tau banyak tentang dia . Aku pun banyak bercerita tentang diriku padanya. Lama-lama kami jadi dekat, tak ada hari tanpa sms darinya.
Suatu hari kamipun berjanji untuk bertemu, dan itulah awal aku mengenalnay lebih dekat. Bisa dibilang ini adalah cinta pada pandangan pertama, semula aku tak percaya, tapi aku mengalaminya sendiri. Vino memang bukan cowok yang tampan, ia biasa saja tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku terkesan, ia sangat baik dan juga kalem nggak urakan kaya cowok kebanyakan. Mungkin hal itu yang membuatku jatuh cinta. Namun sejak pertemuan waktu itu aku tak pernah bertemu dia lagi, bahkan ponselnya pun tak pernah aktif, apa ia melupakan aku? Tanyaku membatin.
Setelah selesai mandi dan sarapan aku bergegas, kusambar tasku dan segera berangkat ke kampus. Pagi itu aku merasa kurang bersemangat, lesu itulah yang kurasakan, sesampainya di kampus
“Dosennya ada May?“ tanyaku pada Maya
“Ada, elo kenapa Fi? Kok lesu begitu sich, elo lagi sakit yaa, atau lagi da masalah…”
“Iya nih May, gue…gue lagi sediiiih banget…”
“Ada apa Fi, cerita donk, gue kan temen elo kali aja gue bisa bantu sedikit“.
Aku bercerita banyak pada Maya, ia sahabatku yang paling dekat, dengan bercerita padanya kurasa sedikit beban yang kurasakan terasa berkurang.
“Fi, mungkin elo terlalu kangen sama Vino, sampai-sampai elo keingetan terus sama dia, udahlah Fi ga usah terlalu dipikirin ntar elo malah sakit. Kalau dah waktunya ketemu pasti elo ketemu sama Vino“
“Sabar aja ya Fi“
Aku sedikit lega mendengar kata-kata Maya, walau aku tetap merindukan Vino.
Setelah pulang kerumah, dan sudah waktunya sholat Ashar, kuambil air wudhu dan segera sholat dan tak lupa aku berdoa agar Tuhan selalu melindungi Vino dan aku dipertemukan lagi dengannya.
“fi, kamu sudah makan nak?” Tanya mamaku
“Sudah ma, tadi di kampus“
Ponselku berdering lagi dan langsuna ku angkat
“Hai cewe, lagi ngapain nich?“ suara itu lagi
“Nggak, gue nggak lagi ngapa-ngapain, elo siapa sich?“
“Gue temen lama elo, masa elo lupa sama gue!?“
“Sorry, emang gue bener-bener lupa“
“Ini gue, gue…“ tapi teleponnya terputus dan aku belum tau siapa dia
Pikiranku menerawang lagi, apa mungkin dia Vino? Banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku. Aku sedikit punya harapan, mungkin dia Vino, Vino yang kutunggu-tunggu kabarnya. Kupandangi terus ponselku, aku berharap berdering lagi. Tapi, lama aku menunggu tak juga ada yang menelepon. Dari pada aku bosan menunggu, kuputuskan untuk main kerumah Lia, ia seorang tetanggaku, umurnya sama denganku dan aku lumayan akrab dengannya.
“Li, lagi ngapain? Gue bosen banget dirumah, jadi gue kesini. Gue ga ganggu kan?“
“Ah ngga Fi, elo ga ganggu, masuk Fi. Gue malah seneng banget elo kesini, jadi gue ada temen deh. Bonyok gue lagi kondangan, gue cuma berdua nih“
“Hah, berdua? Sama siapa Li? elo kan anak semata wayang trus disini ga ada siapa-siapa, elo ga ngigo kan Li, ih gue jadi syuereeem…jangan-jangan…”
“Iya gue berdua, berdua sama tipi he..he.., kan cuma itu temen gue“
“Ah elo Li, bikin gue parno aja“ sahutku sambil mencubit tangan lia.
Setengah jam kami ngobrol, membicarakan masalah cewe, biasa kalau ada cewe lagi ngobrol pasti asyik banget.
“Eh Fi, mumpung elo ada disini, gue mau curhat nih! Boleh kan?“
“Iya Li boleh aja, elo mau curhat soal apaan? Oo..gue tau, pasti masalah cowok yaa, elo lagi fall in love yaa?!“
“Ah elo Fi, bisa aja, iye nich gue lagi fall in love sama seseorang“
“Siapa, siapa orangnya Li? Ganteng ga? Bae ga? Anak mana? Rumahnya dimana?” Seribu rasa ingin tahuku muncul.
Obrolan-obrolan manis berlanjut antara dua orang gadis remaja tentang cintanya…ooh!! Dah kaya novel aja he.he..he…
“Em..dia, gue ga tau anak mana, tapi yang jelas anak kuliahan juga kaya kita-kita. Dia saudara sahabat gue, ga ganteng-ganteng amat sih, tapi… cukup bikin gue kesemsem“
“Gue jadi penasaran nich Li, pengen tau tipe cowo elo itu kaya apa sich? elo ketemu dia dimana Li?”
“Dirumah Aura, sahabat gue”.
“Waktu itu kebetulan gue lagi main di rumah Aura, dan kebetulan dia ada disana, gue dikenalin deh!”
“Oh ya, kenapa elo suka dia?”
“Bis dia sopan dan kalem banget sich, juga kayaknya agamanya taat. Pas gue sampai di sana kan udah waktunya Sholat Ashar dan waktu dia lagi asyik ngobrol sama kita-kita, dia tetep mendahulukan Sholat. Gue kesemsem banget sama dia he.he..he…”
“Wah, elo beruntung banget yaa..” pujiku sambil tersenyum, walau dalam hatiku berkata ia mirip dengan Vino, ah sudahlah mungkin orang seperti dia tidak hanya ada satu di dunia ini.
“Oya Li, namanya siapa?” tanyaku penasaran
“Namanya Vi…” belum selesai Lia menyebutkan namanya tiba-tiba mama memanggilku
“Fiii…, ada telepon untukmu!”
“Li gue pulang dulu yah, ada telepon, ntar gue kesini lagi” pamitku pada Lia
“Iya Fi, tapi jangan lupa loe kesini lagi yaa, kan ceritanya belum selesai”
“Iya..iya!’’ Jawabku sambil bergegas pulang.
Kuterima telepon itu dan…
“Halo, ini siapa?”
“Ini gue, yang semalem dan tadi miskol elo fi!“
“Ooh…elo, ng..ngomong-ngomong dapet nomor telpon gue dari mana nich?“
“Ada aja, boleh kan gue jadi temen elo Fi?“
“Ya tentu boleh donk, gue malah seneng kok punya banyak temen“
“Fi, elo lagi ngapain? Gue ganggu elo ga nih?“
“Emm, sedikit sih tapi ga apa-apa, gue tadi lagi ngobrol sama tetangga gue“
“Oya lupa nama gue Denny, elo kuliah di Jln. Diponegoro kan?, di ekonomi kan? ”
“Lho kok tau sich, tau dari mana?“ Aku semakin bingung
“Pokoknya gue tau aja!, kampus gue ga jauh kok dari kampus elo“
Semakin banyak pertanyaan muncul dari dalam hatiku, siapa Denny sebenarnya dan apa maunya, apa ia benar-benar ingin jadi temanku, atau ada maksud lain.
“Oh disitu yaa, iya gue tau elo ambil juurusan apa Den?”
“ Gue ambil hukum, gue dah semester 4“
Hukum, semester 4, sama seperti Vino…sama persis, tapi apa aku harus tanya tentang Vino, ah lebih baik tidak, mungkin lain kali ketika aku benar-benar siap menerima jawabannya.
“Oh begitu, eh Den boleh gak gue tau, dari siapa elo dapet nomor hp juga telpon rumah gue?” Desakku.
“Sebenernya gue dapet dari temen sekelas gue di kampus, tapi ga usah gue sebutin yaa…gue tau kok dia orangnya baik, jadi elo ga usah mikir macam-macam yaa!”
Aku hanya terdiam mendengar kata-kata Denny.
“Fii.., elo dengerin gue ngomong kan?? Yaa udah deh, kayanya elo bete yaa dengerin suara gue, lain kali aja deh gue telpon lagi, kalo elo da ga bete”
“Ah nggak kok Den, sorry tadi gue lagi bengong aja”
“Ya udah deh, makasih yaa dah mau ngomong sama gue, met malem Fii”
Aku jadi nggak enak sama Denny, takutnya dia mikir macam-macam tentang aku. Karena sudah janji aku kembali ke rumah Lia, dan aku ingin tau kelanjutan ceritanya.
“Udah teleponnya? Siapa sih, dan ngobrolin apa aja tadi?”
“Denny, kenalan baru gue, anaknya baek sih tapi sedikit misterius”
“Ooh.. gebetan baru elo yaa???”
“Ah bukan kok, eh mending elo lanjutin cerita yang tadi, gimana, siapa namanya?”
“Elo penasaran banget yaa?, Namanya Dino, lengkapnya Dino Afif Putra”
“Afif Putra?, kok kayaknya pernah…, ah nggak cuma kayaknya gue familiar baget sama nama itu”
“Oya?, ah mungkin karena namanya agak pasaran aja kali Fi”
“Iya kali…”
Pikiranku kembali pada Vino, setahuku nama belakang Vino juga Afif Putra, hanya kebetulankah ini?, atau memang ada hubungannya dengan Vino?
“Fiii kok elo jadi bengong gitu sih, kenapa? elo mikirin apa? Ada sesuatu yang mengganjal dihati elo yaa, atau gue salah ngomong? Elo kenapa siih….??”
“Nggak apa-apa Li, gue cuma mikirin tugas gue besok” aku terpaksa berbohong, aku tak mau membuat Lia bingung dengan hal yang belum pasti.
“Li, gue pulang dulu yaa, gue mau ngerjain tugas gue dulu, besok gue main lagi yaa..”
“Iya Fi, makasih yaa dah mau dengerin cerita gue.”
“ It’s ok!, ga papa kok, gue malah seneng bisa dengerin cerita elo.”
Aku berbohong lagi, ini terpaksa kulakukan, sebenarnya tak pernah ada tugas tapi yang ada hanyalah bercabangnya pikiranku karena memikirkan Vino. Semakin lama aku semakin merindukannya, aku ingin sekali bertemu dengannya, walau hanya sekali saja, melepas sejuta kerinduanku padanya.
Kumendapat sms dari Denny, ia bilang ingin bertemu denganku kapan-kapan, dan ia juga bilang, dan ia juga bilang ingin lebih mengenalku. Apa artinya semua ini? Universitas yang sama dengan Vino, jurusan yang sama, angkatan yang sama, dan mungkin kelas yang sama. Kemana sebenarnya Vino? Apa ia lupa padaku? Apa ia tak peduli lagi pada temannya yang satu ini…
Keesokan harinya dikampus kuceritakan semuanya pada Maya, dan kuminta pendapatnya.
“Fi, mungkin semua hanya kebetulan aja, tapi mungkin semua ada hubungannya sama Vino, elo harus sabar, mungkin besok atau lusa akan ada kabar dari Vino, dan kalaupun nggak ada mungkin semua jawabannya ada sama Denny.”
“May, kenapa yaa gue mesti kenal sama yang namanya Vino, jatuh hati sama dia, dan sekarang gue kehilangan dia, gue sedih banget May..”
“Sabar yaa Fi, ini semua coban dari Tuhan. Cinta nggak selalu manis, kadang pahit, getir, asem bahkan nano-nano, kita nggak bisa menghindar dari semua itu, semuanya udah diatur sama yang diatas, kita harus bisa berusaha mencari jalan keluarnya.”
Kupeluk sahabatku itu, tanpa sadar butiran bening mengalir membasahi pipiku..
Kuterima sebuah sms dari Denny, ia bilang ingin bertemu denganku sore ini di Kafe Anyelir yang berada tak jauh dari rumahku. Setelah mandi sore dan sholat Ashar, aku pergi ke kafe itu. Dia bilang padaku dia memakai kemeja berwarna biru dan berada di meja nomor empat. Kebetulan sekali, angka empat adalah angka yang cukup berarti bagiku, aku lahir pada tanggal empat april 1984, absenku dikelas pada urutan ke-empat, dan pertama kali aku bertemu Vino pada pukul empat sore. Aku terlalu bingung, sehingga semua kuhubung-hubungkan tanpa alasan yang jelas.
Sesampainya di kafe itu pandanganku kutujukan pada semua meja, kucari dimana letak meja nomor empat dan kemeja berwarna biru. Yap, aku dapati meja itu berada di pojok ruangan, kulihat seseorang dengan kemeja biru tersenyum padaku dan melambaikan tangan.
“Alfi yaa? Ini gue Denny, wah ternyata elo sama persis sama bayangan gue, elo cantik.”
“Ah nggak, biasa aja deh kayanya. Lama yaa nunggunya? Maaf ya gue agak telat, gue tadi jalan kaki jadi agak lama.”
“Nggak kok, nyantai aja lagi.”
“Den, boleh nggak gue tanya sebenernya elo dapet nomor gue dari siapa? Soalnya gue penasaran banget nih..”
“Mm..sebenernya gini, ada sesuatu yang mau gue bicarain sama elo. Gue ini sahabat baiknya Vino, elo kenal kan?.”
Kuterdiam sejenak..
“Vino? Gue…gue kangen banget sama dia, dimana dia Den? Kenapa dia nggak ngabarin gue lagi, apa dia benci sama gue, apa dia marah sama gue, dia kenapa Den?.” Emosiku meluap, dan membuatku bertindak tanpa kendali, mataku memerah, dan aku tak kuasa menahan air mata.
“tenang Fi, tenang dulu.. sebenarnya sejak tiga bulan lalu Vino sakit keras, dia..dia kena kanker tulang. Dia nggak mau bikin elo sedih, makanya dia nggak ngabarin elo sama sekali. Yang gue tau dia sayang banget sama elo Fi, dia sering cerita tentang elo ke gue, katanya elo cantik, dan baik banget, dia juga bahagia banget bisa kenal sama elo…” air mataku semakin deras tak terbendung, Denny berusaha membuatku tenang, tapi tak berhasil. Aku ingin sekali bertemu Vino dan bilang padanya kalau aku sayang, aku juga bahagia bisa kenal dia, dan seharusnya dia terus terang padaku, paling tidak aku bisa berusaha buat dia bahagia, dan kasih dukungan ke dia.. aku membatin.
“Sorry Fi, kalau gue tau elo bakal sedih begini, mending tadi gue gak cerita apa-apa sama elo, gue nyesel Fi udah bikin elo sedih.”
“Justru elo harus ceritain ke gue semuanya, soalnya selama ini gue ngerasa sangat kehilangan Vino, gue nggak bisa ngelupain dia.” Aku terdiam sejenak lalu..
“Den, bawa gue ketempat vino, please Den gue pengen banget ketemu vino.. please Den!!!.”
“Iya, gue janji besok gue ajak elo ketemu dia. Sekarang elo tenang dulu ya.”
Aku pulang dengan sejuta kesedihan, aku tak bisa menghentikan tangisanku, air mataku terus saja mengalir deras.. kenapa semua ini harus menimpa dirimu? Kenapa Vino?. Aku tak langsung pulang, aku mampir kerumah Lia, kuceritakan semua tentang Vino, dan tanpa diduga Lia menceritakan hal yang sangat mengejutkanku.
“Fi, gue belum pernah cerita ke elo yaa, kalau Dino punya saudara kembar, namanya Vino, Dino sayang banget sama kembarannya itu, walaupun mereka nggak kembar identik. Tapi sekarang Vino udah nggak ada lagi, dia udah kembali ke sisi Allah, sebulan yang lalu dia meninggal karena sakitnya.”
“Fi, gue minta elo bisa sabar yaa, tabah menghadapi semua ini, ini semua sudah kehendak-Nya.”
Tubuhku rasanya tak bertenaga lagi, lemas, aku seperti melayang-layang. Aku berjalan menuju pojok kamar Lia, aku meringkuk disana rasanya itu rasa sedih terhebat yang pernah aku rasakan. Vino..kenapa kau pergi tanpa pamit padaku? Mengapa kau tinggalkan aku?
Esok harinya Denny datang kerumahku, dia menepati janjinya, dia mempertemukan aku dengan Vino, walau pun ia sekarang sudah menyatu dengan tanah.
“Vino, ini Alfi, Alfi sayang banget sama Vino, kenapa kamu pergi? Kalau aku tau pasti aku akan berusaha bikin Vino bahagia, walau disaat-saat terakhirmu.”

Tidak ada komentar: